Minggu, 26 Juni 2011

tradisi sebagai sumber seni


POTENSI SENI KABUPATEN PANDEGLANG
SEBAGAI SUMBER PENGGARAPAN SENI PERTUNJUKKAN
Oleh : Rohaendi,S.Pd.

Pandeglang sebagai sebuah kabupaten yang berada di ujung barat pulau jawa merupakan daerah yang kaya akan ragam dan jenis kesenian. Perjalanan sejarah panjang wilayah ini telah membuahkan kesenian yang beragam tadi. Corak seni yang merupakan peninggalan masa pra sejarah, bernuansa Sunda dan bernafaskan Islam tersebar dan sampa kini masih dapat dijumpai di Kabupaten ini.
Keberagaman jenis itu kemudian lambat laun mengeliminasi menjadi satu motif saja yang dapat bertahan, mungkin karena pengaruh kesultanan yang kuat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk kesenian di wilayah ini.
Para tokoh bermunculan dan kemudian mengklaim dirinya sebagi tokoh yang Islami, dengan sebutan Ulama. Mereka yang apatis, bahkan kontra dengan peninggalan-peninggalan pra Islam. Banyak peninggalan pra Islam yang di klaim sebagai peninggalan Islam dengan sebutan Karamat Syekh, Sultan, Buya, dan lain-lain. Banyak peninggalan pra-Islam yang dibiarkan hancur dan dihancurkan. Para pelaku seni yang asalnya aktif, enggan untuk muncul kepermukaan karena takut dirongrong para ulama. Tradisi-tradisi pra Islam yang sebenarnya memiliki kandungan filosofis sangat luhur, tidak lagi dilakukan masyarakat karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islamiah. Adapaun beberapa saja yang sampai kini masih bertahan, itupun karena banyak segi teknis penggarapannya yang diakulturasi dengan bacaan-bacaan Al-qur’an dan hadist, sehingga terkesan seni produk Islam. Sampai pada akhirnya Wilayah yang asalnya memiliki beragam corak kesenian itu mendapat julukan Kota sejuta santri.
Penulis sebagai pelaku seni yang diangkat menjadi birokrat dibidang pembinaan dan pengembangaan kesenian di Kabupaten Pandeglang ini banyak menemukan tradisi-tradisi masyarakat Pandeglang yang bernilai seni menjadi sumber insprirasi bagi jenis kesenian baru yang muncul, mengemuka dan menjadi trand mark di daerah lain. Ini tiada lain karena kurangnya daya kreatif dari para pelaku seni, atau kurangnya pasilitas dan kesempatan bagi para kreator lokal dalam mengembangkan kreasinya. Hal ini juga salah satunya dimungkinkan karena pengaruh julukan kota santri.
Kabupaten Pandeglang yang dikenal sebagai kota santri, tampaknya merupakan sebuah masalah dalam pengungkapan ekspresi kesenian bagi para seniman murni yang memerlukan kebebasan dalam mengekspresikan ide dan buah pikirannya secara maksimal. Image sebagai kota santri yang Islami dan terkesan panatis, merupakan momok bagi para kreator seni dalam mengembangkan karyanya.
Setiap karya seni yang hendak digarap atau dikembangkan di kota ini harus senantiasa dihubung-hubungkan dengan religiusitas ke-Islam-an, bila karyanya itu ingin mendapat legalisasi dari pihak pemerintah (mendapat fasilitas pemerintah dalam bentuk kesempatan ivent atau stimulasi anggaran).
Memang bukan dan belum merupakan sebuah keharusan apalagi peraturan mengikat dari pemerintah atau lembaga apapun, tapi mau tidak mau hal ini merupakan norma yang telah berkembang di kalangan para apatism kesenian. Walaupun hanya sebagian kecil saja, tetapi kelompok atau para tokoh itu telah banyak mempengaruhi norma yang berkembang di masyarakat.
Padahal Kesenian bagi masyarakat Pandeglang adalah sesuatu yang tanpa disadari selalu dinikmati dan dilakukan setiap hari, dan tidak notabene kesenian yang berbau/bernafaskan Islam saja.
Padahal berberapa tokoh seni yang telah mengadakan risetnya di Kab. Pandeglang telah banyak mengungkapkan teorinya temuannya tentang khasanah kekayaan seni budaya Kab. Pandeglang. Enoch Atmadibrata (Budayawan Jawa Barat) mengungkapkan bahwa Pandeglang adalah daerah terkaya akan musik perkusi di Indonesia; Omik Ahmad Hidayat (tokoh tari dari Bandung) mengungkapkan bahwa sumber penggarapn tari Sunda berasal dari “ngalage” yang ada di wilayah Kabupaten Pandeglang; Wahyu Wibisana (Sastrawan dari Bandung) mengungkapkan bahwa Ngarajah Gendreh Pandeglang merupakan rajah buhun yang mengandung filosofis luar biasa dalam memamaparkan bagaimana kita hidup dan berkehidupan di dunia ini; Yuliawan Kasma Hidayat,M.Hum. (antropolog budaya) mengungkapkan bahwa Dodod telah menjadi makna dan simbol keberadaan masyarakat Kampung Pamatang Saketi Pandeglang Banten; Gugum Gumbira (Seniman Tari Jaipongan) mengaku banyak mendapatkan inspirasi dari kesenian rakyat di Pandeglang dalam melahirkan Jaipongan yang melegenda itu; dan tokoh-tokoh lainnya.
Bahkan justru kesenian-kesenian Islami seperti Rudat, Terebang, Yalail, Marhaban tidak disebut-sebut berasal dari Kabupaten Pandeglang yang katanya Kota Sejuta Santri tersebut. Namun apapun adanya, saya akan berusaha mengungkapkan potensi-potensi Kesenian yang dimiliki Pandeglang, yang kini masih dapat dijumpai di Kabupaten Pandeglang.
Bila berbicara potensi kesenian Kabupaten Pandeglang, maka kita harus membaginya dalam beberapa kelompok :

Dilihat dari fungsinya :
- Seni sebagai tradisi
- Seni sebagai pergaulan/hiburan/kalangenan
- Seni sebagai pertunjukkan

Dilihat dari periodisasi sejarahnya :
- Masa Pra Sejarah
- Masa Kerajaan Sunda
- Masa Kesultanan
- Masa Kemerdekaan

Yang akan saya paparkan adalah sebatas seni musik dan tari daerah, serta yang memiliki kekhasan Pandeglang saja.

Seni sebagai Tradisi :
1. Alamadad (punah)
2. Dodod (hidup; berubah fungsi)
3. Dzikir Mulud Saman (hidup)
4. Sawer Sunat (Punah)
5. Gendreh / Tutunggulan/Bendrong (hidup; berubah fungsi)
6. Terebang Ngarak (Hidup)
7. Ngadu Bedug (punah)
8. Ngadu Beluk (punah)

Seni sebagai Pergaulan / Hiburan / Kalangenan :
1. Taleot (punah)
2. Calung Renteng (Hidup)
3. Karinding (punah)
4. Kenclong (punah)
5. Beluk (hidup)
6. Suling Buhun (hidup)
7. Terebang Dekem (hidup/hampir punah)
8. Segeng (punah)
9. Gedebus (Hidup)
10. Ngalage (punah)

Seni sebagai Pertunjukkan
1. Rampak Bedug (Hidup)
2. Patingtung / Turumbu / Silat Goong Tilu (Hidup)
3. Debus (Hidup)
4. Kendang Pencak / Ibing Silat (Hidup)
5. Saman (Hidup)
6. Dodod ( Hidup)
7. Terebang Tandak (Hidup)
8. Drambam (Hidup)
9. Bendrong / Gendreh (hidup)
10. Ubrug (Hidup)
11. Kuda lumping (hidup /hampir punah)

Begitu kaya bukan potensi seni Kab. Pandeglang?. Kini tinggal bagaimana kita semua untuk memberdayakannya. Paling tidak mari kita jadikan kekayaan ini untuk menjadi sumber penggarapan seni pertunjukkan dimasa yang akan datang, sehingga selain khasanah ini akan terlestarikan, seni pertunjukkan yang akan kita kemaspun akan menjadi lebih berpariatif karenanya

KARYA TARI





"ENDAHNA BABARENGAN" KARYA TERBARU BALE SENI CIWASIAT
Seni Rampak Bedug adalah kesenian khas Pandeglang yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Pandeglang, bahkan Propinsi Banten. Dalam berbagai kegiatan seremonial kenegaraan ataupun swasta, baik lokal maupun nasional bahkan internasional, Seni Rampak Bedug kerap ditampilkan sebagai sajian kesenian daerah Kabupaten Pandeglang dan Propinsi Banten.

Seni Tradisional Rampak Bedug berasal dari tradisi masyarakat Pandeglang dan sekitarnya, yaitu tradisi Ngadu Bedug. Kegiatan ini biasanya dilakukan masyarakat dalam meramaikan malam menyambut Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi ini dilakukan oleh dua atau lebih kampung yang bersebelahan , atau dilakukan ketika mendengar suara tabuhan bedug lawan. Ngadu Bedug diawali dengan adanya perjanjian masing-masing perwakilan warga. Kegiatan dimulai ketika salah satu kampung melakukan tabuhan menantang, yang kemudian disahut oleh tabuhan lain dari pihak lawan. Demikianlah terus menerus, saling bersahutan tabuhan sesuai kreasi masing-masing. Selanjutnya mereka bergerak mendekat ke arah sumber suara lawan, yang akhirnya bertemu di arena lapang atau perempatan perbatasan kampung. Ketika berpapasan, biasanya terjadi saling mengejek tabuhan atau peralatan bedug lawan yang mengakibatkan terjadinya kontak fisik, sehingga sering berakhir dengan perkelahian.

Lama kelamaan, Ngadu Bedug bukan saja beradu kreasi menabuh Bedug, tetapi kemudian berubah menjadi ajang perkelahian Ngadu Bedog (beradu Golok), yang kerap memakan korban.

Karya tari yang digarap berjudul Endahna Babarengan ; adalah sebuah hasil perenungan dari perjalanan sejarah terbentuknya kesenian Tradisional Rampak Bedug di Kabupaten Pandeglang Banten.
Endahna Babarengan jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah indahnya bersama-sama. Pengertian dalam bahasa Sunda Banten, Endah berarti indah, dan Babarengan berarti bersama-sama. Kata endah oleh masyarakat Sunda Banten sering digunakan untuk menyebut sesuatu yang berkonotasi nilai yang baik.2
Endahna Babarengan adalah menyampaikan informasi kepada orang lain, bahwa jika sesuatu dilakukan bersama-sama, maka akan menghasilkan sesuatu yang indah. Hal tersebut merupakan pengejawantahan dari keinginan untuk menabuh bedug secara bersama (rampak) sehingga akan menghasilkan harmonisasi yang indah.
Karya tari Endahna Babarengan diciptakan dalam rangka memberikan gambaran bahwa Rampak Bedug itu terasa lebih indah dibanding Ngadu Bedug yang ditabuh masing-masing secara terpisah. Dalam hal apapun, kebersamaan atau bergotong royong, lebih terasa indah, dibanding melakukannya secara terpisah atau masing-masing.

Jumat, 17 September 2010

Ramadhan dan Halal Bihalal dengan bedug ciwasiat


Alhamdulillah di bulan Ramadhan dan Syawal ini Rampak Bedug Ciwasiat terus menghiasi evnt-event di Jakarta.
Ini pertanda bahwa Rampak Bedug kemasan kami dapat diterima, dan dianggap layak dihidangkan pada event-event di Jakarta.
berkat kerja keras dan ketekunan